Memperkuat Antisipasi Kekerasan pada Anak di Lampung

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Lampung Amsir saat memberi keterangan. (ant)
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Lampung Amsir saat memberi keterangan. (ant)

BeritaLampung.id (Balam) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung berupaya memperkuat langkah antisipasi terjadinya peristiwa kekerasan kepada anak di daerahnya dengan memperluas sosialisasi kepada masyarakat.

"Langkah antisipasi untuk mencegah kekerasan kepada anak masih terus dilakukan, salah satunya melalui kegiatan sosialisasi kepada masyarakat secara rutin dan luas," ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Lampung Amsir di Bandarlampung, Kamis (12/1/2023).

Ia mengatakan sosialisasi tersebut akan difokuskan untuk meningkatkan keberanian anak serta korban kekerasan untuk mempertahankan diri, dan berani melaporkan peristiwa kekerasan atau ancaman kekerasan kepada anak.

"Faktor relasi kuasa dalam keluarga ini, menjadi salah satu hal yang menyebabkan subjek yang tidak berdaya tidak berani melapor. Dalam hal ini contohnya anak yang di tinggal orang tuanya bekerja tidak berani melaporkan serta mendapatkan ancaman saat ada tindakan kekerasan dari anggota keluarga. Sehingga sosialisasi agar mereka lebih berani melindungi dan melaporkan diri terus dilakukan," katanya.

Dia menjelaskan dalam penanganan kasus kekerasan yang ditangani langsung oleh UPTD PPA Provinsi Lampung pada 2022 tercatat untuk korban ada 158 orang, sedangkan kasusnya berjumlah 141 kasus.

"Dari kasus yang langsung kami tangani korban terdiri dari anak perempuan, anak laki-laki dan perempuan dewasa. Dan ini terbagi menjadi beberapa kasus seperti kekerasan seksual, kekerasan fisik, KDRT, perebutan hak asuh anak, dan penelantaran. Akan tetapi yang mendominasi di Lampung adalah kekerasan seksual," ucapnya.

Menurut dia, untuk data se- Provinsi Lampung korban kekerasan ada sebanyak 560 orang dan untuk kasus ada 494 kasus.

"Peristiwa mendominasi terjadi di lingkungan keluarga namun ada juga di lingkup pendidikan. Rata-rata kasus kekerasan pada anak kebanyakan berusia 12-15 tahun, namun ada juga usia 17 tahun," tambahnya.

Ia melanjutkan kasus kekerasan yang terjadi tersebut terjadi akibat sejumlah faktor seperti akibat ketahanan keluarga yang rapuh akibat faktor ekonomi yang bergejolak selama pandemi COVID-19, lalu masalah relasi kuasa dalam keluarga yang melemah.

Selanjutnya pengawasan orang tua kepada anak yang kurang karena bekerja sebagai tenaga kerja luar negeri, ataupun menjalani kesibukan yang lain.

Sebelumnya pemerintah pusat melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berupaya untuk terus mengurangi jumlah kasus kekerasan terhadap anak dengan menerapkan tiga strategi, meliputi pencegahan, penanganan dan penguatan kelembagaan.

Selain itu melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (pemda) terkait perlindungan terhadap perempuan dan anak dapat juga mengurangi kasus kekerasan dan asusila yang terjadi. (sat)